Pages

Kamis, 07 Mei 2015

EGO



Aku terdiam sejenak dan kemudian tenggelam lagi dalam anganku yang terhampar jauh dalam sanubari. Detik-detik cepat mengalun dan tak terasa hari telah saling berlomba untuk berlalu. Masih teringat jelas senyuman dan pelitaku yang telah meredup bersama daun-daun layu yang membusuk di tanah, menggembur dan kemudian menyatu lagi dalam hara dan menjadi bumi. Memang sudah sifat kodrati manusia punya waktu untuk mati, dalam perjuangan dan kepahlawanan memang hanya bisa dikenang dalam lembaran-lembaran penghargaan yang tersimpan dalam piruga abu-abu tua. Pahlawan /pah·la·wan/ n orang yg menonjol krn keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yg gagah berani. Begitulah definisi pahlawan yang kita ketahui selama ini.Pelitaku adalah juga seorang pahlawan. Beliau adalah satu dari sekian banyak tentara yang keberadaanya seperti figuran dalam film-film drama di TV. Diabaikan, dilupakan, tidak ada apresiasi yang berharga. Hanya ada foto dan lembaran-lembaran usang yang sudah berwarna kekuningan. Sama warna dengan gigi-gigi beliau yang telah menghilang satu demi satu. Wajah renta yang penuh keriput dan guratan-guratan perjuangan masa lalu itu selalu dihiasi dengan senyuman tulus dan tawa-tawa renyah. Pikirannyapun juga sudah keriput seperti wajahnya, untuk lansia berusia 80 tahunan sangatlah wajar bila dia mengidap penyakit pikun. Hal yang amat disayangkan beliau harus tutup usia ketika diriku masih sangat belia. Beliau adalah salahsatu pahlawan negara, seorang putra bangsa yang telah mengabdi untuk memerdekakan rakyat Indonesia. Salah satu pahlawan favoritku.
Aku menghembuskan nafas dengan pelan dan panjang. Kini mataku beralih ke pigura-pigura merah bata yang terpajang tak jauh dari foto kakekku. Ayahku, my super hero. Beliau adalah pahlawan yang paling aku hormati dan aku sayangi. Beliau rela merantau bertahun-tahun, jauh dari anak dan keluarga sejak diriku belum dilahirkan. Seorang pekerja keras yang tidak pernah pantang menyerah. Pundi-pundi rupiah untuk makan sehari-hari ditabungnya untuk membeli segala macam kebutuhan keluarganya. Seorang laki-laki keras kepala yang mampu melindungi dan memayungi keluarganya dengan sangat baik. Tangan besarnya terasa sangat hangat dan nyaman, seolah beliau adalah mentari yang dibalut kain sutera. Rangkulannya sangat membuatku bahagia dan membuatku merasa aman. Walaupun usahanya kini telah menuai hasil yang sangat mumpuni, beliau tidak pernah berhenti tak pernah puas dan tak pernah berfoya-foya. Kami hidup sederhana walaupun segalanya sudah tersedia dan tercukupi. Aku sangat bahagia dengan gaya hidup keluarga kami yang sangat menekankan pada keprihantinan yang jauh dari kata mewah. Bagi beliau tak apalah makan tempe, asalkan anaknya bisa makan ayam. Dahulu beliau hanya pulang sebulan sekali atau kadang 2 bulan sekali, naik bis, walaupun sebenarnya beliau mampu untuk naik pesawat kapanpun itu. Semua kembali lagi untuk kami, untuk aku, untuk keluarga kecil kami. Sengatan kecil menyetrum kalbuku setiap kali menghantarkan Ayah merantau. Air mataku terkadang tidak mampu membendung lagi rasa rindu ini. Peluh-peluh beliau yang kunikmati setiap hari adalah bukti bahwa beliau sangat menyayangi diriku, seorang anak yang selalu menuntut dan menuntut. Terkadang aku mengabaikan beliau, mencemooh, atau bahkan membangkak, seolah melupakan siapa orang terpenting yang rela menyokong hidupku sejak lahir hingga aku dewasa kelak. Rasa sayangku terhadap beliau sudah tidak dapat terbendung ketika diabetes beliau sangat menghawatirkan, berulang kali terkena tipes karena pola makan yang tidak benar, karena seorang perantau sibuk dan stress berkepanjangan seperti beliau tidak pernah memperhatikan makanan, asal kenyang saja. Sehingga beliau harus berkali-kali keluar masuk rumah sakit sendirian, tanpa anak dan istri yang menemani beliau. Bayangkan betapa kerasnya hidup beliau, rambutnya rontok sedikit demi sedikit karena stress yang berlebihan. Fisiknya yang sebelumnya gendut dan kuat, sekarang sangat kurus dan rapuh. Sehingga memaksa beliau untuk mengundurkan diri dari perusahaan dan pulang kembali untuk berkumpul bersama kami dirumah. Betapa berat bagi beliau untuk melepas pekerjaan ini walaupun kenyataanya tabungan dan investasi beliau sudah lebih dari cukup untuk membiayayaiku sampai aku bisa berdiri sendiri. Usaha dan tanggung jawabnya tidak pernah berhenti walaupun penyakit siap menggerogotinya sedikit demi sedikit.
Saat aku menengok jam, aku tersadar dari lamunan masa laluku bahwa aku sudah hampir terlambat untuk kuliah. Dengan segera aku memasukkan sumber-sumber ilmu kedalam tasku, dan kupacu si merah menuju kampusku tercinta.
Saat aku menyadari betapa sepinya dunia ini ketika aku sendirian dan kesepian, aku berjalan meniti jalanan kampus dengan kaki-kakiku yang lelah. Begitu aku menyadari betapa sulitnya dunia yang baru. Betapa sulitnya beradaptasi dengan lingkungan baru. Air mataku dapat terus beriringan berlomba dengan peluhku, mencari pemenang siapa yang akan diusap terlebih dahulu. Saat-saat inilah aku merindukan salah satu sosok pahlawan yang aku rindukan, sahabatku. Amat sulit hidup diperantauan seperti aku. Ketika harus berpisah dengan keluarga dan sahabat. Aku membutuhkan sahabat untuk melewati semua masalah yang aku hadapi. Aku butuh orang yang dapat mengerti, memahami, dan membantuku keluar dan sabar menghadapi masalah. Tapi saat kami berpisah... aku kini harus berjuang sendiri, mencari arti dan memecahkan semua urusanku sendiri. Wahai sahabat, kalau kau mendengarku sekarang, aku sangat ingin memeluk dan menangis bersamamu. Peranmu sangat aku butuhkan saat ini, pahlawanku. Aku berhenti berjalan. Kakiku gemetar sehingga aku harus berjongkok agar tubuhku tidak limbung. Siapa yang akan menyelamatkan aku? Aku sendirian! Disela-sela isakku, seorang nenek tua yang berwajah bersih datang menghampiriku dan menepuk pundakku. “Nduk, kenapa kok nangis?” Kata nenek itu lembut. Dengan terisak aku menjawab, “Iy.. iya, Nek. Saya tidak kenapa-kenapa kok, cuma merasa sendirian aja.” Nenek itu membelai rambutku perlahan. “Hidup itu kamu sendiri yang menentukan. Ingat, kamulah pahlawan untuk dirimu sendiri, bukan siapa-siapa.” Aku kaget mendengar ucapan nenek tersebut. Bagaimana bisa dia mengerti jalan pikiran aku? Ketika aku hendak menatap nenek itu, sosok nenek itu telah hilang!
So let me go.
I don’t wanna be a heroes.
I don’t wanna be a big man.
I just wanna fight like everyone else.
Aku adalah aku. Akulah yang menentukkan hidupku. Bukan kakekku, ayahku, ataupun sahabatku. Sederetan orang-orang itu adalah pahlawan, pahlawan yang memang harus aku kenang. Tapi aku tidak akan terus bergelantung pada mereka. Aku memang tidak akan pernah menjadi pahlawan bagi siapapun, dan aku yakin itu. Aku tidak ingin mencari simpati dari oranglain. Aku yang sekarang hanya ingin berjuang seperti individu-individu yang lain. Menjadi pahlawan untuk diriku sendiri, bukan untuk dikenang, dielu-elukan, atau untuk menjadi terkenal. Aku harus memperaiki sikap dan egoku, belajar untuk melihat dunia dan melihat peluang. Karena rencana tuhan siapa yang tau kan?

Afina Nadida 20140220093
23 November 2014, 20:59

Cerita yang sangat menyentuh. Seperti kehidupan yang selalu kita hadapi....mahasiswa berprestasi angkatan 2014 Agribisnis telah menjadi pemenang tervaforit...selamat atas prestasinya..selalu berkarya sampai akhir hayat, ditunggu karya di Writing Contest 2 ^_^

Tidak ada komentar: