Aku terdiam sejenak dan kemudian
tenggelam lagi dalam anganku yang terhampar jauh dalam sanubari. Detik-detik
cepat mengalun dan tak terasa hari telah saling berlomba untuk berlalu. Masih
teringat jelas senyuman dan pelitaku yang telah meredup bersama daun-daun layu
yang membusuk di tanah, menggembur dan kemudian menyatu lagi dalam hara dan
menjadi bumi. Memang sudah sifat kodrati manusia punya waktu untuk mati, dalam
perjuangan dan kepahlawanan memang hanya bisa dikenang dalam lembaran-lembaran
penghargaan yang tersimpan dalam piruga abu-abu tua. Pahlawan /pah·la·wan/ n
orang yg menonjol krn keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran;
pejuang yg gagah berani. Begitulah definisi pahlawan yang kita ketahui selama
ini.Pelitaku adalah juga seorang pahlawan. Beliau adalah satu dari sekian
banyak tentara yang keberadaanya seperti figuran dalam film-film drama di TV.
Diabaikan, dilupakan, tidak ada apresiasi yang berharga. Hanya ada foto dan
lembaran-lembaran usang yang sudah berwarna kekuningan. Sama warna dengan
gigi-gigi beliau yang telah menghilang satu demi satu. Wajah renta yang penuh
keriput dan guratan-guratan perjuangan masa lalu itu selalu dihiasi dengan
senyuman tulus dan tawa-tawa renyah. Pikirannyapun juga sudah keriput seperti
wajahnya, untuk lansia berusia 80 tahunan sangatlah wajar bila dia mengidap
penyakit pikun. Hal yang amat disayangkan beliau harus tutup usia ketika diriku
masih sangat belia. Beliau adalah salahsatu pahlawan negara, seorang putra
bangsa yang telah mengabdi untuk memerdekakan rakyat Indonesia. Salah satu
pahlawan favoritku.
Aku menghembuskan nafas dengan pelan
dan panjang. Kini mataku beralih ke pigura-pigura merah bata yang terpajang tak
jauh dari foto kakekku. Ayahku, my super
hero. Beliau adalah pahlawan yang paling aku hormati dan aku sayangi.
Beliau rela merantau bertahun-tahun, jauh dari anak dan keluarga sejak diriku
belum dilahirkan. Seorang pekerja keras yang tidak pernah pantang menyerah.
Pundi-pundi rupiah untuk makan sehari-hari ditabungnya untuk membeli segala
macam kebutuhan keluarganya. Seorang laki-laki keras kepala yang mampu
melindungi dan memayungi keluarganya dengan sangat baik. Tangan besarnya terasa
sangat hangat dan nyaman, seolah beliau adalah mentari yang dibalut kain
sutera. Rangkulannya sangat membuatku bahagia dan membuatku merasa aman. Walaupun
usahanya kini telah menuai hasil yang sangat mumpuni, beliau tidak pernah
berhenti tak pernah puas dan tak pernah berfoya-foya. Kami hidup sederhana
walaupun segalanya sudah tersedia dan tercukupi. Aku sangat bahagia dengan gaya
hidup keluarga kami yang sangat menekankan pada keprihantinan yang jauh dari
kata mewah. Bagi beliau tak apalah makan tempe, asalkan anaknya bisa makan
ayam. Dahulu beliau hanya pulang sebulan sekali atau kadang 2 bulan sekali,
naik bis, walaupun sebenarnya beliau mampu untuk naik pesawat kapanpun itu.
Semua kembali lagi untuk kami, untuk aku, untuk keluarga kecil kami. Sengatan
kecil menyetrum kalbuku setiap kali menghantarkan Ayah merantau. Air mataku
terkadang tidak mampu membendung lagi rasa rindu ini. Peluh-peluh beliau yang
kunikmati setiap hari adalah bukti bahwa beliau sangat menyayangi diriku,
seorang anak yang selalu menuntut dan menuntut. Terkadang aku mengabaikan
beliau, mencemooh, atau bahkan membangkak, seolah melupakan siapa orang
terpenting yang rela menyokong hidupku sejak lahir hingga aku dewasa kelak.
Rasa sayangku terhadap beliau sudah tidak dapat terbendung ketika diabetes
beliau sangat menghawatirkan, berulang kali terkena tipes karena pola makan
yang tidak benar, karena seorang perantau sibuk dan stress berkepanjangan seperti beliau tidak pernah memperhatikan
makanan, asal kenyang saja. Sehingga beliau harus berkali-kali keluar masuk
rumah sakit sendirian, tanpa anak dan istri yang menemani beliau. Bayangkan
betapa kerasnya hidup beliau, rambutnya rontok sedikit demi sedikit karena
stress yang berlebihan. Fisiknya yang sebelumnya gendut dan kuat, sekarang
sangat kurus dan rapuh. Sehingga memaksa beliau untuk mengundurkan diri dari
perusahaan dan pulang kembali untuk berkumpul bersama kami dirumah. Betapa
berat bagi beliau untuk melepas pekerjaan ini walaupun kenyataanya tabungan dan
investasi beliau sudah lebih dari cukup untuk membiayayaiku sampai aku bisa
berdiri sendiri. Usaha dan tanggung jawabnya tidak pernah berhenti walaupun
penyakit siap menggerogotinya sedikit demi sedikit.
Saat aku menengok jam, aku tersadar
dari lamunan masa laluku bahwa aku sudah hampir terlambat untuk kuliah. Dengan
segera aku memasukkan sumber-sumber ilmu kedalam tasku, dan kupacu si merah
menuju kampusku tercinta.
Saat aku menyadari betapa sepinya
dunia ini ketika aku sendirian dan kesepian, aku berjalan meniti jalanan kampus
dengan kaki-kakiku yang lelah. Begitu aku menyadari betapa sulitnya dunia yang
baru. Betapa sulitnya beradaptasi dengan lingkungan baru. Air mataku dapat
terus beriringan berlomba dengan peluhku, mencari pemenang siapa yang akan
diusap terlebih dahulu. Saat-saat inilah aku merindukan salah satu sosok
pahlawan yang aku rindukan, sahabatku. Amat sulit hidup diperantauan seperti
aku. Ketika harus berpisah dengan keluarga dan sahabat. Aku membutuhkan sahabat
untuk melewati semua masalah yang aku hadapi. Aku butuh orang yang dapat
mengerti, memahami, dan membantuku keluar dan sabar menghadapi masalah. Tapi
saat kami berpisah... aku kini harus berjuang sendiri, mencari arti dan
memecahkan semua urusanku sendiri. Wahai sahabat, kalau kau mendengarku
sekarang, aku sangat ingin memeluk dan menangis bersamamu. Peranmu sangat aku
butuhkan saat ini, pahlawanku. Aku berhenti berjalan. Kakiku gemetar sehingga
aku harus berjongkok agar tubuhku tidak limbung. Siapa yang akan menyelamatkan
aku? Aku sendirian! Disela-sela isakku, seorang nenek tua yang berwajah bersih
datang menghampiriku dan menepuk pundakku. “Nduk, kenapa kok nangis?” Kata
nenek itu lembut. Dengan terisak aku menjawab, “Iy.. iya, Nek. Saya tidak
kenapa-kenapa kok, cuma merasa sendirian aja.” Nenek itu membelai rambutku
perlahan. “Hidup itu kamu sendiri yang menentukan. Ingat, kamulah pahlawan
untuk dirimu sendiri, bukan siapa-siapa.” Aku kaget mendengar ucapan nenek
tersebut. Bagaimana bisa dia mengerti jalan pikiran aku? Ketika aku hendak
menatap nenek itu, sosok nenek itu telah hilang!
So let me go.
I don’t wanna
be a heroes.
I don’t wanna
be a big man.
I just wanna
fight like everyone else.
Aku adalah aku. Akulah yang
menentukkan hidupku. Bukan kakekku, ayahku, ataupun sahabatku. Sederetan
orang-orang itu adalah pahlawan, pahlawan yang memang harus aku kenang. Tapi
aku tidak akan terus bergelantung pada mereka. Aku memang tidak akan pernah
menjadi pahlawan bagi siapapun, dan aku yakin itu. Aku tidak ingin mencari
simpati dari oranglain. Aku yang sekarang hanya ingin berjuang seperti
individu-individu yang lain. Menjadi pahlawan untuk diriku sendiri, bukan untuk
dikenang, dielu-elukan, atau untuk menjadi terkenal. Aku harus memperaiki sikap
dan egoku, belajar untuk melihat dunia dan melihat peluang. Karena rencana
tuhan siapa yang tau kan?
Afina Nadida 20140220093
Cerita yang sangat menyentuh. Seperti kehidupan yang selalu kita hadapi....mahasiswa berprestasi angkatan 2014 Agribisnis telah menjadi pemenang tervaforit...selamat atas prestasinya..selalu berkarya sampai akhir hayat, ditunggu karya di Writing Contest 2 ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar