Hari itu langit masih agak gelap,
suara jangkring masih terdengar kencang, jam baru menunjukkan jam setengah lima
pagi, kabut dingin masih sangat terasa, ditambah jalan yang becek akibat
guyuran hujan semalam, namun tak pernah menyurutkan niat pemuda yang satu ini
untuk mengenyam pendidikan, Sani namanya. Jauhnya jarak yang harus di tempuh ke
sekolah membuatnya harus lebih awal berangkat agar tidak terlambat nantinya,
kalau di hitung kira-kira 30 kilo lebih jarak antar rumah dengan sekolahannya,
tak hanya jarak yang jauh, dia juga harus mengayuh sepada tua untuk sampai ke
sekolah, kala itu sebenarnya bis sudah ada namun keterbasan uang saku membuatnya
lebih memakai sepeda. Dari rumah ia berangkat sendirian, namun setelah sampai
di kota ada teman yang bersama-sama mengayuh sepeda. Di sekolahan dia
mempelajari tentang keguruan, atau sering di sebut sekolah PGSD, ya PGSD,
sekolah yang mungkin dulunya di pandang sebelah mata, mengingat dulu di jaman
orde baru gaji karyawan pabrik lebih tinggi dari gaji guru, sehingga tak begitu
banyak yang berminat ke sekolah guru. Di desa tempat ia tinggalnya pun para
pemuda se usianya jarang yang meneruskan sekolah mereka lebih memilih
bekerja, bayang-bayang itu yang
kadang-kadang membuat semangat Sani turun, mereka sudah mendapatkan uang,
sedangkan dia masih harus sekolah dan bahkan mengurangi uang orang tua, namun
tetap berkeyakinan bahwa hari ini prihatin terlebih dahulu nantinya akan menuai
hasilnya.
Suatu
hari sekolah sedang libur semesteran, Sani habiskan waktu liburnya untuk
membatu orang tuanya di sawah, ya, bantu mencabuti rumput, ataupun bantu-banu
pekerjaan lain yang sekiranya bisa dia kerjakan, yang terpenting baginya tidak
ada kata malas-malasan. Di pertengahan liburan, temennya datang kerumahnya, dia
mau mengajak main kerumah temen sekelas mereka, yang rumahnya tak begitu jauh
dari rumahnya, dengan gegas untuk mengurangi kejenuhan, Sani lalu minta izin
untuk silaturahmi ke rumah temennya. Ke sana mereka berdua naik sepeda onthel,
jalannya pun masih terbuat dari tatanan batuan, waktu itu ketika asyik ngobrol
Sani melewati jalan yang berlubang, dan naas ia terjatuh ke sungai, tubuhnya
membentur batu yang ada di sungai, mukanya luka lebam dan mengalir darah, dan
ia pun mengalami patah tulang punggung yang serius, warga sekitar yang melihat
kejadian langsung menolongnya dan membawanya kerumah sakit, di rumah sakit ia
di perban hampir di seluruh tubuhnya, sebulan lamanya ia di rawat di rumah
sakit. Sungguh malang nasibnya kala itu. Untuk membiayai pengobatan kedua orang
tuanya hampir menjual semua harta benda yang miliki.
Sebulan
kemudian, ia sudah agak sembuh, namun belum total seperti sedia kala, pergi ke
sekolahnya ia harus di antar oleh adiknya sampai ke jalan yang dilewati bus,
lalu dia naik bus ke sekolahnya, dan sekarang dia lebih milih ngekos dekat
sdekolahnya dengan alasan sakit yang masih membanyanginya. waktu itu ia hanya
di beri uang saku seribu rupiah, seratus perak untuk adiknya, dua ratus untuk
ongkos pulang pergi, dan sisanya untuk hidup seminggu di kos, kala itu harga
nasi lauk + es teh masih seratus lima puluh rupiah. Jadi dengan uang segitu
cukup tidak cukup harus cukup untuk seminggu.
Hari
demi hari ia jalani dengan penuh semangat
dan kesabaran, sampai akhirnya ia di nyatakan lulus. Namun setelah lulus
dia tidak langsung menjadi guru, karena belum banyak di butuhkan tenaga guru,
lalu dia terpaksa bekerja ke pabrik tekstil, tempat adiknya juga bekerja, di
sana ia menemukan tamabatan hati yang juga karyawan di sana, karena sudah
merasa cocok akhirnya menikah setahun kemudian mereka di karuniai seorang
putra. Namun setelah itu mereka berdua memutuskan untuk keluar dari pabrik
tempat mereka bekerja, lalu mereka mendapatka pekerjaan lain, si bapak bekerja
di pabrik pupuk sedang ia bekerja sebagai guru seperti pekerjaan yang di
harapkan dulunya walaupun menjadi tenaga honorer. tujuh tahun lamanya baru diakui
oleh negara sebagai guru melalui pengangkatan menjadi PNS. Rasa syukur
terpanjatkan kehadirat sang Khalik atas apa yang di peroleh sekarang, mengingat
dulunya ia harus bersusah payah menempuh pendidikan yang jauh, serta melawan
godaan dari teman-temannya dan akhirnya kini ia menuai hasilnya, sedangkan
teman-temannya tadi masih belum terarah masa depannya. Namun di sisi lain dia
merasa ilmunya kurang karena hanya lulusan PGSD atau setara dengan SMA, untuk
itu dia melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,. Di pagi hari ia harus lebih awal bagun, unutk
menyiapkan sarapan unutk keluarganya, siangnya di mengabdikan dirinya untuk
menularka ilmunya, dan setelah itu dan akhirnya lulus pendidikan sarjana.
Memasuki
era presiden SBY guru mulai di perhatikan nasibnya, untuk menunjang kinerja
guru, presiden memberi tambahan gaji, atau sering di sebut gaji sertifikasi
dimana gajinya akan di tambah satu kali gaji pokok tiap bulannya. Kesempatan
ini tak di sia-siakan oleh Sani, ia mengikuti tes, dan ia dinyatakan lolos,
namun di sisi lain ia juga memiliki kewajiban yang besar untuk mendidik anak
didiknya menjadi yang lebih baik.
Suatu
hari ketika berobat di puskesmas terdengar pembicaraan antara pegawai sana,
“kog guru di perhatiin terus sama pemerintah, sekarang dapat sertifikasi malah
kinerjanya sama aja, anakku sekolah gag pinter-pinter, malah tak tambah les”
kata pegawai puskesmas tadi.
Di lihat dari percakapan tadi,
terlihat sikap iri yang timbul, mengingat jika di hitung kerjnya sama sebagai
PNS tapi gajinya lebih tinggi darinya dan kekecewaan oleh sebagian masyarakat kinerja
apa yang di hasilkan, terutama mengenai kepandai murid yang di ajarinya,
sekarang ini kebanyakan orang beranggapan bahwa pintar itu di tunjukan lewat
nilai saja,. Namun anggapan ini sebenarnya tidak sepenuhnya tepat, mengingat
penanaman etika atau norma-norma, rasa kebersamaan dengan orang lain ( social)
harus di utamakan, pintar atau pandai saja tidak cukup, pintar kalau bikin
sengsara orang lain sama saja menjadi boomerang bagi masyarakat atau bangsa. Jarang
orang “bodoh” terlibat kasus-kasus korupsi. Pemerintah juga menyadari sudah hal
ini, untuk itulah menggalakkan program penanaman karakter pada siswa. Tidak
hanya itu, sebernaya pintar itu juga tak harus di lihat dari nilai saja,
mungkin murid-murid ada kepandaian di bidang yang lainnya. Sebut saja pencipta
mesin Honda, dia tidak mau belajar kecuali mengenai permesinan. Jadi kesuksesan
guru mendidik murid jangan di lihat dari perolehan nilai saja, tetapi harus
dari segi yang lainnya juga. Dan juga coba tengok perjuangannya dan keprihatinannya
yang di lakukannya dulunya.
(1)
Mahasiswa Agroteknologi “A” 2012
Karya dari Mas Rizki tidak juga kalah ternyata, dari hasil tulisannya bersangkut paut dengan gaji seorang guru...selamat untuk mas